Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Sabtu, 18 Juli 2009

JANDA MONTOK DIBILANG SEKSI?

Konsep Kecantikan dari Oprah Show


Oprah yang bertubuh gemuk dan berbokong besar tertawa lebar usai mendengar penuturan Houda, perempuan muda asal Mauritania. Ini soal kecantikan.


IA BARU TAHU, di negeri yang terletak di Benua Afrika itu, paramenter seksi dan kecantikan perempuan adalah berbadan gemuk plus bokong besar, seperti dirinya.
Mendengar penuturan Houda, Oprah menyatakan keinginannya dengan penuh minat pergi ke negeri itu. “Mauritania.......(saya datang)” serunya begitu percaya diri.

Houda kembali menuturkan, lebih afdhol lagi di negerinya jika perempuan berbadan gemuk itu berstatus janda. Singkatnya, janda montok = seksi dan cantik. Itu sebabnya perceraian selalu dirayakan di negeri itu.

Houda nampaknya sedikit tertekan dan serba salah dengan konsep kecantikan tak lazim ini. “Ibuku bingung saat aku bilang, mau diet,” aku perempuan- yang menurut saya anggun- ini.

Oprah heran. Saya menebak – nebak, pasti presenter terkenal ini ingin berkata “kok bisa ya? setahu saya diet itu ritual perempuan sedunia.”

Lalu, seperti apa perspektif laki – laki Mauritania terhadap kecantikan perempuan? “Begini, bagi kami, perempuan gemuk itu cantik, dan kebalikannya, laki – laki gemuk adalah kesialan,” jawab seorang pria Mauritania, kepada Oprah.

“Saya ingin pulang ke Mauritania, tapi sebelumnya saya harus menurunkan berat badan dulu,” lanjut pria berbadan agak gemuk ini. Oprah menyimak penuturan itu, sesekali ia tersenyum geli. Pria Mauritania lain menyatakan, “saya tidak akan menukar apapun dengan janda montok.”

Untuk menjadi montok, sejak kecil anak – anak perempuan Mauritania dibiasakan makan berlebihan. Ini ada positifnya. Sebab pemerintah setempat tak perlu repot memikirkan ancaman busung lapar.

Andai ditemukan anak anak lelaki yang kurus, pemerintah pun bisa berdalih, “Ah.. itu kan perkaderan. Supaya mereka tidak menjadi generasi yang sial.”
Anak perempuan Mauritania, bahkan dibiasakan meminum susu unta berkadar lemak tinggi plus cara makan yang aneh, makan, kenyang, makan lagi, muntah dan makan lagi.

Belum cukup, sejak dini mereka juga disuguhi berbagai jenis obat penambah nafsu makan. Pintu bagi mengguritanya industri farmasi dan produk pengembang badan lainnya.

Alhasil, menurut sumber Oprah, “petugas kesehatan hampir setiap hari mendapati keluhan perempuan soal hipertensi dan diabetes.” Ya, harga yang mahal untuk montok.
Cerita lain, perempuan di negerinya Oprah, Amerika, kini gandrung memakai rambut tambahan, mereka ingin memiliki rambut tebal, layaknya wanita India.

Dan ternyata, dalam acara Oprah yang ditayangkan Metro TV Minggu 18 Juli 2009, terungkap kalau rambut tambahan yang digunakan perempuan Amerika umumnya berasal dari India, mimpi yang jadi nyata.

Kok bisa?? Begini ceritanya, perempuan di negeri para dewa itu biasa menggunduli rambutnya untuk alasan keagamaan. Rambut dipersembahkan bagi dewa Venkateswara.
Rambut yang dipersembahkan menggunung dalam kuil. Tapi tak dibuang begitu saja, namun dikumpul petugas kuil, dijual ke pengumpul, lalu diolah sedemikian rupa sehingga menjadi komoditas eksport, dan pindah ke kepala perempuan – perempuan Amerika. Jadilah perempuan Amerika berambut India, luar biasa.

Dalam hati saya bertanya, “Dewa Venkateswara marah nggak ya? He..he...he...

Seorang perempuan India, baru saja digunduli, tercengang di depan kuil ketika reporter yang bekerja untuk acara Oprah, menuturkan bagaimana rambut sesembahan itu menjadi komoditas eksport bernilai tinggi lantas pindah ke kepala orang lain.

Sebaliknya, Oprah dengan tenang meyakinkan seorang perempuan Amerika pemakai rambut tambahan, jika, yang dipakainya rambut hidup asli dari India. Perempuan itu kuatir kalau yang dipakainya adalah rambut rontok dari India.

Ini pembelajara baru bagi saya. Beginilah industri mode itu bekerja. Oprah mengatakan, “Ini mencerahkan!!”

Berupaya tampil cantik dan seksi saya kira umum dilakukan kaum perempuan. Yang pasti semua upaya itu dilakukan untuk mencapai idealitas – idealitas tubuh atau tampilan fisik lainnya (termasuk busana)- menurut keyakinan dan konsep mereka tentang kecantikan.

Di negeri sakura Jepang: Kulit kencang, terang dan mulus seperti kulit telur dan porselen adalah dambaan kaum hawa, tua – muda. Demi mendapat kualitas ini perempuan di sana rela mencuci muka dengan (krim) kotoran burung bul – bul, makan urat daging dan mengonsumsi bahan mengandung Kolagen setiap hari.

Berbeda dengan Mauritania, perempuan Brazil selalu mau tampil langsing, dan montok pada bokong dan payudara, every time, every where. Diet ketat, operasi plastik dan olahraga pun ditempuh.

Operasi plastik dilakukan perempuan berpenghasilan rendah dari komunitas miskin kota di negeri sepakbola ini. “Mereka rela menghabiskan separuh gaji untuk operasi, jika tidak, dicicil,” kata seorang pewawancara dari talk show populer ini. Perempuan negeri Samba konon menjadi negara pengonsumsi pil diet terbesar.

Perempuan Iran yang berhidung mancung, rupanya rata – rata tak puas dengan bentuk hidungnya, yang menurut mereka agak besar pada bagian ujung. Padahal jujur saya selalu mendamba punya keturunan berhidung semancung perempuan Iran. Maklum hidung saya juga pesek.

Asal jangan kayak Almarhum Jacko, yang konon meninggal gara – gara sulit bernafas, lubang hidungnya sempit karena terlalu mancung.

Demi mendapat hidung ideal, mereka melakukan operasi plastik. Ada 60 Ribu operasi hidung dalam setahun di negeri para Mullah ini.

Mungkin karena mahal, maka operasi plastik lantas terkonstruksi menjadi pahaman tentang status sosial. Kaum perempuan bangga menempel plester di hidungnya, seolah baru saja dioperasi.

“Dosen saya sudah dua tahun memplester hidungnya, padahal dia tak pernah operasi,” sebut sumber Oprah di Iran via telpon. “Menurut kami itu lucu,” jawab Oprah.

Survey yang dilakukan tim Oprah, menunjukkan, 70 persen perempuan (responden survey) mengasosiasikan “Cantik dan Seksi” pada tampilan fisik. Namun konsep tentang apa kriteria cantik dan seksi sangat relatif. Pendapat Oprah, tergantung orang melihat dan bagaimana meyakininya. Bagaimana dengan anda? ***

MALING TAKUT ADAT LHO

Tips Saat Kecurian

Pencuri Takut Adat?? Ya, itu benar – benar ada. Kamis (9/7) lalu, asrama Paniai yang terletak di Wosi Dalam, Manokwari, dibobol maling, sebuah mesin pompa air raib. Namun ancaman ritual adat yang disebar melalui selebaran oleh pengurus asrama, membuat sang maling bergidik

Saking takutnya kena tulah adat, maling yang tak jelas identitasnya itu akhirnya mengembalikan barang curiannya.

Maling menjalankan aksi, sekitar pukul 12.30 WIT. Penghuni asrama tidur pulas. Sang maling menggergaji mesin hingga terlepas.

Mungkin karena terburu – buru gergaji besi itu tertinggal di TKP, bersama sepasang sendal jepit. Mungkin pula ia berkeringat saat menggergaji mesin, sehingga Ia membuka baju. Baju berwarna merah ini ikut ketinggalan di TKP.

Maling tahu adat ini dipergok warga saat membopong mesin. Ia dikejar, Ia lompat kesana kemari menghindari kejaran. Lincah seperti kancil, dan tak sempat tertangkap.
Yakob Pigai Ketua Asrama, sangat marah karena kejadian ini. Ia kemudin menyebar selebaran bernada ancaman di sekitar Kompleks Wosi Dalam.

Dalam penegasannya, anak muda dari pegunungan Papua ini berjanji akan menghukum sang maling secara adat, kalau tak mengembalikan mesin itu. ”Kembalikan dalam dua minggu,” tekan Yakob dalam selebarannya.

Eh, ancaman itu ampuh bin mujarab. Buktinya dua hari kemudian mesin itu dikembalikan si maling dengan penuh sesal. Untung Ia tak digebuk penghuni asama. Untuk alasan persaudaraan penghuni asrama merahasiakan nama si maling.

Lantas, apa yang terjadi pada diri si maling andai tak mengindahkan ancaman itu? ”Ooo... pace tra selamat,” jawab seorang penghuni asrama sambil tersenyum pasti. Layak Dicoba. ***

PENGIBAR BENDERA DAMAI DIDAKWA MAKAR

RONI RUBEN IBA (39), Isak Iba (35) dan Piter Iba (35), tiga pria pengibar bendera yang menyerupai bendera bintang kejora di halaman kantor Bupati Teluk Bintuni Kamis 1 Januari 2009 lalu, didakwa pasal makar oleh jaksa penuntut umum dalam sidang yang digelar di Pengadian Negeri Manokwari, Rabu (16/7).

“Terdakwa bertujuan melepaskan diri dari NKRI dan mendirikan negara kerajaan Papua atau negara Papua merdeka,” ujar Jaksa Mudeng Sumaila dalam dakwaannya.
Beberapa waktu lalu saat diperiksa di kejaksaan, para terdakwa mengaku bendera yang mereka kibarkan,adalah bendera sabat atau bendera kerajaan. Mereka juga menyebutnya, bendera pedamaian.

Bendera kain sepanjang 140 cm dan lebar 56 cm itu berdasar merah, bergambar bintang putih segi delapan. Pada bagian dalam, juga tergambar bintang biru segi enam bergaris merah putih biru, sama sekali berbeda dengan bintang kejora yang diasosiasikan sebagai simbol gerakan kemerdekaan Papua.

Roni dkk, mengibarkan bendera tersebut subuh, sekitar pukul 05.45, dalam balutan pakaian adat, dan membawa sebilah badik, sebuah ketapel dan 18 batu kali sebagai penjaga diri saat mereka menjalankan aksinya.

Ruben terdakwa yang berprofesi sebagai security hotel bertindak sebagai pemegang bendera, Isak yang juga PNS di Bappeda Bintuni menarik tali, sementara Piter alias Merihido memegang tali pengikat bendera.

Usai menggerek bendera layaknya anggota paskibraka, para terdakwa berdoa dan berjaga dibawah tiang serta berteriak – teriak ‘merdeka’ sambil menyanyikan lagu pujian dalam bahasa Sougb yang artinya, dalam nama Tuhan kami merdeka.

Tak berapa lama setelah aksi pengibaran, ketiga pria ini dan barang bukti langsung diangkut ke Mapolres Teluk Bintuni, hingga dihadapkan di meja hijau. Mereka didakwa pasal 106 jo pasal 55 ayat 1 KUHP.

Mau merayakan tahun baru dengan cara ini? silahkan saja. Saya cuma ingatkan, pengacara mahal***

Rabu, 01 Juli 2009

KEARIFAN BUDAYA ARFAK

Ighya Ser Hanjob, Berdiri Jaga Batas

Menjelang matahari terbit, semua anggota keluarga dibangunkan, kemudian diingatkan kembali tentang idealitas hubungan antar manusia, dan bagaimana menjaga harmoni manusia dengan alam.


MUSYAWARAH ADAT II suku besarArfak yang digelar di Gedung Kartini Manokwari, telah berakhir beberapa hari lalu. Meski kegiatan ini memunculkan kritik dari tokoh Arfak - salah satunya Daud Indouw - karena porsi politik yang mengemuka di dalamnya lebih dominan, namun sejatinya – forum ini berangkat dari sebuah kesadaran kritis tokoh adat, perempuan dan intelektual Arfak akan realitas kekinian dan tantangan yang bakal di hadapi masyarakat adat Arfak kedepan.

Kesadaran ini tercermin dalam alas pikir panitia yang dibacakan oleh Ketua Panitia, Disyon Iwouw. “Masyarakat sudah harus menginstrospeksi diri atas ketidak berdayaan dalam menggunakan hak – hak politik, ekonomi, dan sosial budayanya. Agar keluar dari keterisolasian, yang mengikatnya selama ini misalnya kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan,” sebutnya.

Selanjutnya, Disyon menyebut sebuah harapan agar masyarakat adat Arfak menjadi tuan di negeri sendiri.

Suku besar Arfak terdiri dari beberapa sub suku seperti Moule, Meyah, Moskona, mansim – borai, kebar – karon timur (Mpur), Sough dan Hatam. Suku besar Arfak mendiami wilayah adat mulai dari Tembuni, Bintuni, Merdey, Meyah, Moskona, Estega, Anggi, Sururey, Isim, Ransiki, Oransbari, Warkapi, Maruni, Maripi, Arfai, Minyambouw, Warmare, Kota Manokwari, Pantai Utara Manokwari, dan daerah lainnya di Kabupaten Manokwari, Teluk Bintuni dan Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat

Kawasan Pegunungan Arfak yang tepat berada di kepala burung Tanah Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Arfak.

Masyarakat Suku Hatam (Sub Suku Besar Arfak) menyebut kawasan ini dengan nama “Ndon”. Pegunungan Arfak berada pada ketinggian 100-2800 m dpl, dan cuaca disekitarnya sangat dingin- berkisar antara 16-30 derajat celcius. Jumlah penduduk yang menghuni tawasan ini sekitar12. 000 jiwa yang terdiri dari suku Hatam di bagian Utara, Suku Moule, Meyah di again barat dan Sough di bagian Selatan.

Kawasan ini merupakan sumber kehidupan dan inspirasi utama bagi Masyarakat Arfak. Pada tahun 1992 sebagaian besar kawasan Pegunungan Arfak ditetapkan menjadi kawasan cagar alam.

Masyarakat Arfak terutama yang bermukim pada kawasan ini memiliki nilai dan kearifan budaya Igya Ser Hanjob yang artinya berdiri menjaga batas. Secara filosofis nilai ini mengandung makna bahwa segala yang ada di alam ini (termasuk manusia) memiliki batas. Bilamana batas tersebut dilanggar maka bencana akibatnya. Hakikat Kosmologi Arfak adalah segala sesuatu (di alam semesta) bukanlah hal yang tak terbatas (Ad Infinitum).

Sebagai sebuah nilai - Igya Ser Hanjob merupakan landasan hidup masyarakat Arfak sehari – hari.

Pada masyarakat Arfak dikenal budaya “Henjabti”. Menjelang matahari terbit, semua anggota keluarga dibangunkan, kemudian diingatkan kembali tentang idealitas hubungan antar manusia, dan bagaimana menjaga harmoni manusia dengan alam. Nilai Ighya ser hanjob – terpelihara melalui tradisi lisan ini.

Igya ser Hanjob, selain mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam secara tradisional, juga mengatur masalah sosial di kalangan masyarakat Arfak. Sejak kecil anak – anak Arfak mulai diajarkan berlaku jujur, adil, bijaksana. Semua ada batasnya dan setiap orang diharuskan menjaga batas tersebut untuk keberlangsungan hidupnya.

Dalam masyarakat Arfak terdapat struktur adat yang terdiri dari Andigpoy (kepala Adat), Pinjoydig (Pembantu tugas kepala adat) dan pinjoy piley (Pelaksana tugas). Semua Komponen institusi adat harus menjalankan tugasnya sesuai nilai – nilai yang bersumber dari Igya Ser hanjob.

Nilai – Nilai Igya ser hanjob juga terlihat dalam pola pengelolaan sumber daya alam. Pada masyarakat adat Hatam (Sub Suku besarArfak) dikenal Bahamti yaitu wilayah hutan primer yang tak boleh diganggu sama sekali (Wilayah perlindungan Alam), kemudian Nimahamti yakni wilayah yang boleh diambil hasil hutannya namun dalam jumlah yang terbatas, serta Susti yang merupoakan kawasan pemanfaatan baik untuk berkebun maupun sebagai wilayah pemukiman.

Dalam konteks penguasaan wilayah, Tiap wilayah adat memiliki Hanjob atau batas masing – masing.

SDA : Konsep Penguasaan dan Pemaknaan

Hukum, pada masyarakat adat Arfak dan secara umum Papua mengenal hak adat atas sumber daya melalui kepemilikan komunal berdasarkan gabungan klan - dan marga atau keret (Komunal menurut Klan).

Dalam konteks kepemilikan dan penguasaan Sumber daya Alam - Pandangan pertama - komunitas Masyarakat adat menganggap bahwa tanah, hutan dan air merupakan milik masyarakat adat yang diatur oleh pemimpinan adat berdasarkan aturan adat yang dianutnya – dan (pandangan kedua) diwariskan secara turun temurun pada suatu marga.

Mampioper dalam Patay (2005) menjelaskan suku atau marga yang pertama kali datang dan bermukim di suatu tempat dengan seluruh wilayah yang dijelajahinya menjadi milik suku/ marga pemukim pertama di wilayah tersebut. Mereka memiliki hak atas tanah dan seluruh sumber daya alam yang ada di dalamnya Kelompok suku atau marga lain yang datang di kemudian hari dapat memanfaatkan tanah berdasarkan aturan yang ditetapkan pemukim pertama.

Adapun pola Kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam dikelompokkan dalam tiga pola yakni melalui warisan, invasi ke wilayah kelompok marga lain dan Ekspansi ke wilayah baru. Pewarisan kepemilikan dan penguasaan lahan didasarkan pada silsilah keluaraga dan keturunan.

Hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya diamanatkan dari leluhur ke anak sulung suatu marga. Pola pewarisan ini menganut kepemilikan dan penguasaan secara komunal dalam satu keturunan.

Adapun kepemilikan dan penguasaan wilayah melalui invasi suatu marga ke wilayah marga lain dengan cara perang.

Kelompok marga yang menang akan menguasai marga yang kalah termasuk berhak menguasai dan memiliki seluruh sumber daya yang ada. Sementara kepemilikan dan penguasaan wilayah dan sumber daya dilakukan melalui penjelajahan ke wilayah baru. Terkadang penjelajahan ini dilakukan karena di tempat semula terjadi bencana atau peperangan.

Wilayah adat yang dimiliki setiap komunitas adat terkadang sangat luas dan membutuhkan beberapa hari untuk melintasinya. Karena sangat luas - Saat melintasi kawasan tersebut belum tentu ditemui pemukiman atau manusia.

Walau demikian hal itu tak berarti bahwa wilayah itu tak bertuan. Sebab masyarakat adat di Papua mengenal dbatas – batas hak adat, misalnya dalam bentuk pohon besar, gunung, sungai, rawa, batu besar dan sebagainya.

Orang Asli Papua selalu menghindari untuk melakukan pelanggaran hak adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Terlebih terhadap gunung, sungai rawa, danau gua yang dianggap keramat. Pelanggaran terhadap kawasan tersebut akan membawa malapetaka dan penyakit batin, yakni hilangnya semangat hidup yang dapat membawa kepunahan suatu suku

Di Kabupaten teluk Wondama, Papua Barat, dikenal adanya kawasan Uta Wbevidiar atau kawasan hutan keramat, kawasan ini tak boleh dieksploitasi karena masyarakat setempat memaknai kawasan tersebut dalam konteks Religi – magis, bukan (semata –mata) kawasan yang bersifat ekonomis.

Pandangan dan pemaknaan masyarakat adat Papua akan tanah di Papua umumnya terkategori sebagai pandangan Ekofeminisme. Tanah, diasosiasikan sebagi seorang ibu yang melahirkan, membesarkan, menjaga dan menyimpan manusia ketika meninggal dunia – dan sebagai sumber kehidupan abadi.

Kehadiran manusia di suatu tempat berkaitan erat dengan karakteristik sumber daya alam di tempat bersangkutan sebagai sumber penghidupan mereka. Sumber daya alam baik tanah maupun perairan telah dikuasai dan digunakan secara turun temurun.

Secara implisit pernyataan ini bermakna bahwa sumber daya berupa tanah, air, laut dan huan serta segala kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai, dimiliki dan digunakan oleh masyarakat adat yang mendiami papua dan pulau – pulau di sekitarnya.

Nilai adat yang dianut oleh masyarakat adat papua – khususnya yang berada di wilayah kepala burung – ialah, lahan atau pun hutan memiliki nilai sosial, ekonomi, dan nilai budaya – religius.

Nilai ekonomi Sumber daya Alam (hutan), berarti bahwa hutan merupakan sumber buruan, tempat bercocok tanam, mengambil kayu, buah – buahan, makanan, biji – bijian, sayur dan sebagai sumber tumbuhan obat. Hasil hutan tersebut menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup dan rumah tangga. Secara sosial hutan merupakan sarana pengikat hubungan sosial antar warga dalam satu (dan) antar suku. Hutan merupakan instrumen untuk mengukur status sosial seseorang atau komunial dalam satu marga, klan atau suku.

Sementara nilai budaya – religius, tanah dan hutan lahir karena fungsinya sebagai tempat upacara keagamaan dan upacara adat, tekait pemujaan terhadap leluhur yang dibuktikan dengan adanya tempat keramat.

Masyarakat adat memandang bahwa hutan dan tanah merupakan komponen yang tak terpisahkan. Pandangan masyarakat adat adat akan tanah merupakan proses yang berkembang dari diri mereka sebagai pemilik adat. Tanah Dianggap sebagai sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan komunitas adat mereka.

Karenanya komunitas adat (Suku/ Marga) selalu berusaha untuk memiliki tanah seluas – luasnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup komunitas dan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Di satu pihak masyarakat papua umumnya hidup di dalam dan sekitar hutan. Secara tradisionil mereka menerapkan praktek –praktek pengelolaan hutan selalui kearifan lokal yang mengandung aspek konservasi. Singkat kata, Hutan bagi masyarakat papua telah berkembang dan menyatu dengan sistem sosial budaya yang dianut. Mereka menerapkan kearifan tradisional yang dipercaya mempertahankan hutan sebagai sumber penghidupan.

Perekat Kosmos Nyaris Punah
Mengingat tanah dimaknai sebagai “Ibu kandung” maka tanah – akan halnya hutan - tak dapat diperjualbelikan, jika mereka menjualnya sama saja menjual ibu kandungnya. Nilai – Nilai ini tak hadir pada ruang hampa sebab pemaknaannya mempengaruhi pola pengelolaan sumber daya oleh masyarakat adat.

Igya ser Hanjob pada masyarakat Arfak selain mengatur pengelolaan sumber daya alam secara tradisional, juga mengatur masalah sosial di kalangan masyarakat Arfak. Sejak kecil anak – anak Arfak mulai diajarkan berlaku jujur, adil, bijaksana pada dua aspek tersebut. Semua ada batasnya dan setiap orang diharuskan menjaga batas tersebut untuk keberlangsungan hidupnya.

Manusia dan alam adalah kesatuan kosmologi. Ighya Ser Hanjob bagi masyarakat Arfak adalah instrumen perekat kosmos. Sekiranya nilai ini diabaikan, maka manusia Arfak yang terikat pada nilai itu akan terasing dari kosmos dan ruang di mana mereka hidup, awal kepunahan.

Sayangnya belum nampak sebuah kesadaran bahwa modernisme, kekuasaan dan praktek ekonomi berbasis keserakahan secara nyata dan perlahan mulai mengikis nilai – nilai itu. Ini terlihat ketika semangat untuk merevitalisasi nilai – nilai dan kearifan lokal tersebut sama sekali tak terjamah pada forum Musyawarah Adat Suku besar Arfak yang gegap - gempita itu. []

SOSIALISME ISLAM ALA HOS TJOKROAMINOTO

Tahun 1924 di Mataram, HOS Tjokroaminoto yang kemudian kita kenal sebagai salah seorang pendiri dan sekaligus ketua Sarekat Islam (SI) menulis buku “Islam dan Sosialisme”.

Buku tersebut ditulis oleh Tjokro, di samping karena pada waktu itu tengah terjadi pemilihan-pemilihan ideologi bangsa, juga lantaran pada waktu itu paham ideologi yang digagas para tokoh dunia sedang digandrungi oleh kalangan pelajar Indonesia, di antaranya sosialisme, Islamisme, kapitalisme dan liberalisme.

HOS Tjokroaminoto sebagai intelektual dengan ghirah ke-Islaman yang tinggi ingin menjawab salah satu ide dari paham-paham tersebut terutama sosialisme yang lebih mendapat tempat di hati rakyat Indonesia. Mereka menganggap sosialisme punya misi kuat untuk kepentingan rakyat, terutama kaum buruh, petani dan kelas pekerja lainnya.

Karena itu, ia menawarkan sebuah gagasan sosialisme Islam. Tapi Tjokro sadar bahwa realisasi dari gagasan ini di tingkat praksis akan menemui kesulitan, mengingat rakyat dihadapkan pada pemilihan ideologi yang ideal. Apalagi pada saat itu sudah berkembang ideologi sosialisme dan komunisme yang dianggap lebih cocern terhadap kaum mustadh’afin.

“Islam dan Sosialisme” sendiri memuat beberapa pembahasan. Pembahasan menyangkut kaitan sosialisme dengan Islam, kehidupan bangsa Arab pra Islam (sebelum Nabi), misi Nabi Muhammad yang bersifat sosialis, sikap sosialis sahabat-sahabat Muhammad. Prototipe sosialisme ala Islam, imperialisme muslim, agama dan sosialisme, pengelolaan pemerintahan secara sosialis juga menjadi pembahasan dari buku tersebut.

Dalam buku tersebut HOS Tjokroaminoto memulai tulisannya dengan sebuah pertanyaan apakah sosialisme Islam itu. Menurutnya, sosialisme Islam adalah “sosialisme yang wajib dituntut dan dilakukan oleh umat Islam, dan bukan sosialisme yang lain, melainkan sosialisme yang berdasar kepada azas-azas Islam belaka.” Lebih jauh dia menjelaskan, “Cita-cita sosialisme di dalam Islam tidak kurang dari 13 abad umurnya dan tidak boleh dikatakan terbit daripada pengaruhnya bangsa Eropah. ..azas-azas sosialisme itu telah dikenal di dalam pergaulan hidup Islam pada zamannya Nabi kita, Muhammad SAW.”

Menurut Tjokro, Islam secara tegas melarang (mengharamkan) riba (woeker) dan dengan begitu Islam menentang keras kapitalisme. “Menghisap keringatnya orang-orang yang bekerja, memakan hasil pekerjaannya lain orang, tidak memberikan bahagian keuntungan yang mestinya (dengan seharusnya) kebahagiannya lain orang yang turut bekerja mengeluarkan keuntungan itu, –semua perbuatan yang serupa ini (oleh Karl Marx disebut memakan keuntungan “meerwaarde” (nilai lebih) adalah dilarang dengan sekeras-kerasnya oleh agama Islam, karena itulah perbuatan memakan “riba” belaka,” tulisnya.

Penolakan Islam terhadap kapitalisme jelas terlihat dalam konsep dasar muamalah Islam, di mana Islam mengingatkan akan celaka orang yang mengumpulkan harta untuk kesia-siaan. Jadi dalam sistem muamalah Islam, praktek yang mengarah pada penimbunan atau penumpukan modal dan barang adalah dilarang. Demikian juga Islam melarang praktek riba karena dianggap benih kapitalisme atau meer warde dalam konsep Marx

Menurut HOS Tjokroaminoto, dasar sosialisme yang diajarkan Nabi Muhammad adalah kemajuan budi pekerti rakyat. Hal ini tampak dalam pernyataannya, “Menurut pendapat saya dalam faham sosialisme ada 3 anasir, yaitu “kemerdekaan (vrijheid-liberty), persamaan (gelijk-heid-equality), dan persaudaraan (broederschap-fraternity).

Nilai sosialisme dalam Islam, lanjutnya, terlihat dari misi yang disandang Muhammad bahwa ia datang untuk rahmat bagi seluruh alam. Jadi sejatinya orang Islam dimanapun berada selalu menebarkan cinta kasih dalam niat dan perbuatan, menyebarkan rasa kemanusiaan yang tinggi, menjunjung nilai-nilai luhur, bukan hanya pada ideologi atau agamanya saja tapi pada kemanusiaannya juga, bukan hanya pada manusia saja tapi pada makhluk lainnya juga. Dengan demikian tidak ada lagi perusakan baik di daratan maupun lautan, tidak ada lagi eksploitasi terhadap binatang, tumbuhan dan alam lainnya.

Dalam pandangan Tjokro, keunggulan (sosialisme) Nabi bukan hanya karena ia selalu di bimbing wahyu dalam kehidupannya, tetapi juga karena dalam setiap tindakannya ia selalu menjadi orang pertama yang memperjuangkan liberalisasi dan menegakkan keadilan. Dalam hal ini, ia bukan hanya seorang pemikir saja akan tetapi ia ikut terjun di tengah umat.

Sikap inilah sebetulnya yang harus dijadikan acuan. Umat Islam harus mengambil pelajaran dari tindakan Nabi yang sangat menjunjung nilai kemanusiaan dan menentang perbudakan. Nabi mengatakan, “Tentang budak-budakmu berilah makan padanya saperti yang kamu makan sendiri, dan berilah pakaian padanya seperti pakaian yang kamu pakai sendiri. Apabila kamu tidak dapat memelihara mereka, atau mereka melakukan kesalahan, lepaskan mereka. Mereka itu hamba Allah seperti kamu juga, dan kamu harus berlaku baik-baik kepada mereka.”

Lalu azas apakah sebetulnya yang menuntun Muhammad hingga gigih memperjuangkan nilai-nilai sosialis-humanis? Dalam bukunya, Tjokro mengemukakan, azas itu tidak lain adalah “sebesar-besarnya keselamatan hendaknya menjadi bahagiannya sebanyak-banyaknya manusia, dan keperluannya seseorang hendaknya bertakluk kepada keperluannya orang banyak”

Melalui buku “Islam dan Sosialisme” itu pulalah, Ketua SI ini menuturkan sebuah tamsil tentang sosialisme Islami. Ia kemudian mengisahkan bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai satu kebun bernama Fidak. Setelah Nabi wafat, Fatimah, puterinya, menuntut pengembalian kebun itu kepadanya atas dasar hak-turunan.

Tetapi Khalifah Abu Bakar menolak tuntutan Fatimah, dengan alasan bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai kekayaan dengan hak bagi dirinya sendiri. Karena itu, segala sesuatu yang ditinggalkan Nabi harus menjadi kepunyaan orang banyak. Akhirnya kebun itu menjadi milik orang banyak.

Kritik atas Sosialisme Islam ala Tjokr
o
“Sosialisme Islam” HOS Tjokroaminoto belum menyentuh essensi al-Quran tentang kaum mustadhafin, hanya kulit luarnya saja, dan seringkali dianggap parsial sehingga tidak tuntas. Lebih dari itu, beberapa fakta yang diketengahkan dalam buku tersebut kurang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini bisa jadi disebabakan oleh terlalu kerasnya Tjokro dalam memperjuangkan gagasan sosialisme Islam. sementara realitas sosial waktu itu mungkin tidak memberi tempat kepadanya untuk lebih menelaah lebih jauh konsep Quran dan pengalaman sejarah Islam tentang pemberdayan mustadlafin.

Kelemahan lain bisa dilacak dari gagasan sosialisme Islam-nya yang tidak dihubungkan dengan surat al-Humazah: (l) “Celakalah (azablah) untuk tiap-tiap pengumpat dan pencela (2) Yang menumpuk harta benda dan menghitung-hitungnya”. Demikian juga sosialisme Islam ala Tjokro tidak dihubungkan dengan surat al-Qashash: 5: “Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas (mustadhafin atau dhu’afa) di bumi dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi”.

Intelektual Dawan Rahardjo bisa memaklumi kelemahan-kelemahan gagasan Tjokro, mengingat tokoh utama SI yang dikenal berperilaku shaleh ini belum mempelajari Islam secara mendalam. Menurut Dawam, buku “Islam dan Sosialisme” hanyalah merupakan kajian awal. Tujuan Tjokro sendiri ketika menggagas sosialisme Islam di samping untuk menguak sosialisme Islam juga untuk menandingi ideologi sosialisme yang terlanjur mendapat tempat di hati rakyat.

Secara umum, Dawam menganggap gagasan sosialisme Islam memang sulit dikembangkan termasuk gagasan Tjokroaminoto sendiri. “Kesulitan untuk berbicara apalagi mengembangkan teori sosialis, sekalipun berdasarkan Islam, adalah kenyataan bahwa gerakan politik, organisasi sosial dan kegiatan dakwah Islam di Indonesia, dari segi finansial, didukung oleh pengusaha dan pedagang yang beraspirasi ingin bisa meningkatkan skala ekonomi mereka. Dalam proses peningkatan itu mereka mengharapkan perangsang-perangsang moneter, fiskal dan institusional dalam kerangka sistem kapitalis yang berlaku,” demikian tulis Dawam.

Upaya merealisasikan gagasan sosialisme Islam ala Tjokro semakin sulit mengingat kondisi politik yang berkembang pada dekade tahun 1930-an mengalami perubahan. “Dalam dasawarsa 1930-an,” kata Dawam Rahardjo, “pergerakan tidak berbicara lagi mengenai sosialisme. Buku Tjokro gagal mengajak golongan terpelajar muslim, baik yang bergabung dalam Jong Islamisten Bond, maupun Studenten Islam Studieclub yang berdiri pada tahun 1936 untuk menggali ajaran sosial Islam dalam kerangka sosialisme.”

Kalau di tingkat realisasi gagasan, Tjokro kurang berhasil maka begitu pula dalam menjalankan kepemimpinan dalam tubuh SI. Menurut Dawam, Tjokro terlalu menekankan persatuan dan ingin menjadi pemimpin yang bisa berdiri di atas semua golongan. Tapi akibat sikapnya ini, Tjokro tidak berani menyingkirkan kubu komunis dalam SI.

Baru ketika Tjokro berada dalam tahanan, karena peristiwa Garut, duet kepimpinan Agus Salim – Abdul Muis, yang menguasai persidangan Kongres Nasional VI SI di Surabaya, berhasil melaksanakan tindakan disiplin partai kepada golongan komunis. Kubu komunis (dikenal dengan sebutan kubu merah) berhasil disingkirkan sekalipun mereka telah mendapat dukungan kuat dari cabang-cabang Semarang, Solo, Salatiga, Sukabumi dan Bandung. (Dawan Rahardjo: Intelektual Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa, Mizan, Bandung, 1993).

Terlambatkah gagasan sosialisme Islam ini? Pengamat sosial keagamaan, Kuntowijoyo, melalui tulisannya “SI dan Pembaruan Pemikiran Islam” (Kompas, 7/6/95) mengatakan, kalau SI telah mengadakan pembaruan pemikiran dengan menawarkan ideologi sosialisme Islam, lalu dengan konsep apakah umat Islam di abad ke-21 ketika dihadapkan pada dunia industrialisasi?

Problem itu dimunculkan oleh Kuntowijoyo, karena pada awal Abad XX, ketika menghadapi kebangkitan kaum buruh, SI telah menghasilkan pembaruan pemikiran dengan ideologi sosialisme Islam. Waktu itu Islam keluar dari sejarah “alamiah” dan mencoba “merekayasa” sejarah, tetapi rupanya kurang berhasil. Dengan misi sosialisme-nya, SI memang punya komitmen kuat untuk memperjuangkan kepentingan “wong cilik” dan kaum buruh.

Tapi peran SI dalam memperjuangkan misinya dianggap too late and too little. SI kalah duluan dari marxisme dan kurang memuaskan kaum buruh yang sudah kehilangan kepercayaan pada kebaikan hati perseorangan. Yang mereka kehendaki adalah “kebaikan hati kolektif.”

Terlepas dari keterlambatan SI dalam mengambil peran itu, yang jelas dalam pandangan Kuntowijoyo, problem yang dihadapi umat Islam dewasa ini berbeda dengan yang dihadapi SI. Karena itu, pembaharuan pemikiran tidak lagi berkutat pada kerangka ideologis. Menghadapai abad XXI, pola berpikir ideologis harus diganti dengan pola berpikir ilmu. Solusi ini masih mengundang tanda tanya; benarkah akan demikian?

Berpijak pada analisa Dawam Rahardjo bahwa kesulitan dalam mengembangkan teori sosialis, karena yang mendukung gerakan politik, organisasi sosial dan kegiatan dakwah adalah pengusaha dan pedagang yang kapitalis, maka bisa dipahami jika hingga kini belum ada tokoh yang memunculkan partai sosialis yang berdasarkan Islam.

Jadi, sekali lagi, belum adanya tokoh Islam yang memunculkan partai sosialis berdasarkan Islam adalah karena ideologi yang akan memberikan dukungan finansial padanya nanti, bukan dari yang berideologi sosialis Islam, melainkan dari yang berideologi kapitalis. Disinilah tidak tepatnya Kuntowijoyo yang menyimpulkan perjuangan ideologi, dianggapnya sudah berakhir memasuki abad ke-21. buktinya pertarungan atas nama ideologi masih kental dalam kehidupan politik dan ekonomi. ***
>> Dikutip. Karenanya, mohon maaf bagi penulis.