Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Rabu, 01 Juli 2009

KEARIFAN BUDAYA ARFAK

Ighya Ser Hanjob, Berdiri Jaga Batas

Menjelang matahari terbit, semua anggota keluarga dibangunkan, kemudian diingatkan kembali tentang idealitas hubungan antar manusia, dan bagaimana menjaga harmoni manusia dengan alam.


MUSYAWARAH ADAT II suku besarArfak yang digelar di Gedung Kartini Manokwari, telah berakhir beberapa hari lalu. Meski kegiatan ini memunculkan kritik dari tokoh Arfak - salah satunya Daud Indouw - karena porsi politik yang mengemuka di dalamnya lebih dominan, namun sejatinya – forum ini berangkat dari sebuah kesadaran kritis tokoh adat, perempuan dan intelektual Arfak akan realitas kekinian dan tantangan yang bakal di hadapi masyarakat adat Arfak kedepan.

Kesadaran ini tercermin dalam alas pikir panitia yang dibacakan oleh Ketua Panitia, Disyon Iwouw. “Masyarakat sudah harus menginstrospeksi diri atas ketidak berdayaan dalam menggunakan hak – hak politik, ekonomi, dan sosial budayanya. Agar keluar dari keterisolasian, yang mengikatnya selama ini misalnya kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan,” sebutnya.

Selanjutnya, Disyon menyebut sebuah harapan agar masyarakat adat Arfak menjadi tuan di negeri sendiri.

Suku besar Arfak terdiri dari beberapa sub suku seperti Moule, Meyah, Moskona, mansim – borai, kebar – karon timur (Mpur), Sough dan Hatam. Suku besar Arfak mendiami wilayah adat mulai dari Tembuni, Bintuni, Merdey, Meyah, Moskona, Estega, Anggi, Sururey, Isim, Ransiki, Oransbari, Warkapi, Maruni, Maripi, Arfai, Minyambouw, Warmare, Kota Manokwari, Pantai Utara Manokwari, dan daerah lainnya di Kabupaten Manokwari, Teluk Bintuni dan Teluk Wondama, Provinsi Papua Barat

Kawasan Pegunungan Arfak yang tepat berada di kepala burung Tanah Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Arfak.

Masyarakat Suku Hatam (Sub Suku Besar Arfak) menyebut kawasan ini dengan nama “Ndon”. Pegunungan Arfak berada pada ketinggian 100-2800 m dpl, dan cuaca disekitarnya sangat dingin- berkisar antara 16-30 derajat celcius. Jumlah penduduk yang menghuni tawasan ini sekitar12. 000 jiwa yang terdiri dari suku Hatam di bagian Utara, Suku Moule, Meyah di again barat dan Sough di bagian Selatan.

Kawasan ini merupakan sumber kehidupan dan inspirasi utama bagi Masyarakat Arfak. Pada tahun 1992 sebagaian besar kawasan Pegunungan Arfak ditetapkan menjadi kawasan cagar alam.

Masyarakat Arfak terutama yang bermukim pada kawasan ini memiliki nilai dan kearifan budaya Igya Ser Hanjob yang artinya berdiri menjaga batas. Secara filosofis nilai ini mengandung makna bahwa segala yang ada di alam ini (termasuk manusia) memiliki batas. Bilamana batas tersebut dilanggar maka bencana akibatnya. Hakikat Kosmologi Arfak adalah segala sesuatu (di alam semesta) bukanlah hal yang tak terbatas (Ad Infinitum).

Sebagai sebuah nilai - Igya Ser Hanjob merupakan landasan hidup masyarakat Arfak sehari – hari.

Pada masyarakat Arfak dikenal budaya “Henjabti”. Menjelang matahari terbit, semua anggota keluarga dibangunkan, kemudian diingatkan kembali tentang idealitas hubungan antar manusia, dan bagaimana menjaga harmoni manusia dengan alam. Nilai Ighya ser hanjob – terpelihara melalui tradisi lisan ini.

Igya ser Hanjob, selain mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam secara tradisional, juga mengatur masalah sosial di kalangan masyarakat Arfak. Sejak kecil anak – anak Arfak mulai diajarkan berlaku jujur, adil, bijaksana. Semua ada batasnya dan setiap orang diharuskan menjaga batas tersebut untuk keberlangsungan hidupnya.

Dalam masyarakat Arfak terdapat struktur adat yang terdiri dari Andigpoy (kepala Adat), Pinjoydig (Pembantu tugas kepala adat) dan pinjoy piley (Pelaksana tugas). Semua Komponen institusi adat harus menjalankan tugasnya sesuai nilai – nilai yang bersumber dari Igya Ser hanjob.

Nilai – Nilai Igya ser hanjob juga terlihat dalam pola pengelolaan sumber daya alam. Pada masyarakat adat Hatam (Sub Suku besarArfak) dikenal Bahamti yaitu wilayah hutan primer yang tak boleh diganggu sama sekali (Wilayah perlindungan Alam), kemudian Nimahamti yakni wilayah yang boleh diambil hasil hutannya namun dalam jumlah yang terbatas, serta Susti yang merupoakan kawasan pemanfaatan baik untuk berkebun maupun sebagai wilayah pemukiman.

Dalam konteks penguasaan wilayah, Tiap wilayah adat memiliki Hanjob atau batas masing – masing.

SDA : Konsep Penguasaan dan Pemaknaan

Hukum, pada masyarakat adat Arfak dan secara umum Papua mengenal hak adat atas sumber daya melalui kepemilikan komunal berdasarkan gabungan klan - dan marga atau keret (Komunal menurut Klan).

Dalam konteks kepemilikan dan penguasaan Sumber daya Alam - Pandangan pertama - komunitas Masyarakat adat menganggap bahwa tanah, hutan dan air merupakan milik masyarakat adat yang diatur oleh pemimpinan adat berdasarkan aturan adat yang dianutnya – dan (pandangan kedua) diwariskan secara turun temurun pada suatu marga.

Mampioper dalam Patay (2005) menjelaskan suku atau marga yang pertama kali datang dan bermukim di suatu tempat dengan seluruh wilayah yang dijelajahinya menjadi milik suku/ marga pemukim pertama di wilayah tersebut. Mereka memiliki hak atas tanah dan seluruh sumber daya alam yang ada di dalamnya Kelompok suku atau marga lain yang datang di kemudian hari dapat memanfaatkan tanah berdasarkan aturan yang ditetapkan pemukim pertama.

Adapun pola Kepemilikan dan penguasaan sumber daya alam dikelompokkan dalam tiga pola yakni melalui warisan, invasi ke wilayah kelompok marga lain dan Ekspansi ke wilayah baru. Pewarisan kepemilikan dan penguasaan lahan didasarkan pada silsilah keluaraga dan keturunan.

Hak kepemilikan dan penguasaan sumberdaya diamanatkan dari leluhur ke anak sulung suatu marga. Pola pewarisan ini menganut kepemilikan dan penguasaan secara komunal dalam satu keturunan.

Adapun kepemilikan dan penguasaan wilayah melalui invasi suatu marga ke wilayah marga lain dengan cara perang.

Kelompok marga yang menang akan menguasai marga yang kalah termasuk berhak menguasai dan memiliki seluruh sumber daya yang ada. Sementara kepemilikan dan penguasaan wilayah dan sumber daya dilakukan melalui penjelajahan ke wilayah baru. Terkadang penjelajahan ini dilakukan karena di tempat semula terjadi bencana atau peperangan.

Wilayah adat yang dimiliki setiap komunitas adat terkadang sangat luas dan membutuhkan beberapa hari untuk melintasinya. Karena sangat luas - Saat melintasi kawasan tersebut belum tentu ditemui pemukiman atau manusia.

Walau demikian hal itu tak berarti bahwa wilayah itu tak bertuan. Sebab masyarakat adat di Papua mengenal dbatas – batas hak adat, misalnya dalam bentuk pohon besar, gunung, sungai, rawa, batu besar dan sebagainya.

Orang Asli Papua selalu menghindari untuk melakukan pelanggaran hak adat atas tanah dan sumber daya alam lainnya. Terlebih terhadap gunung, sungai rawa, danau gua yang dianggap keramat. Pelanggaran terhadap kawasan tersebut akan membawa malapetaka dan penyakit batin, yakni hilangnya semangat hidup yang dapat membawa kepunahan suatu suku

Di Kabupaten teluk Wondama, Papua Barat, dikenal adanya kawasan Uta Wbevidiar atau kawasan hutan keramat, kawasan ini tak boleh dieksploitasi karena masyarakat setempat memaknai kawasan tersebut dalam konteks Religi – magis, bukan (semata –mata) kawasan yang bersifat ekonomis.

Pandangan dan pemaknaan masyarakat adat Papua akan tanah di Papua umumnya terkategori sebagai pandangan Ekofeminisme. Tanah, diasosiasikan sebagi seorang ibu yang melahirkan, membesarkan, menjaga dan menyimpan manusia ketika meninggal dunia – dan sebagai sumber kehidupan abadi.

Kehadiran manusia di suatu tempat berkaitan erat dengan karakteristik sumber daya alam di tempat bersangkutan sebagai sumber penghidupan mereka. Sumber daya alam baik tanah maupun perairan telah dikuasai dan digunakan secara turun temurun.

Secara implisit pernyataan ini bermakna bahwa sumber daya berupa tanah, air, laut dan huan serta segala kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai, dimiliki dan digunakan oleh masyarakat adat yang mendiami papua dan pulau – pulau di sekitarnya.

Nilai adat yang dianut oleh masyarakat adat papua – khususnya yang berada di wilayah kepala burung – ialah, lahan atau pun hutan memiliki nilai sosial, ekonomi, dan nilai budaya – religius.

Nilai ekonomi Sumber daya Alam (hutan), berarti bahwa hutan merupakan sumber buruan, tempat bercocok tanam, mengambil kayu, buah – buahan, makanan, biji – bijian, sayur dan sebagai sumber tumbuhan obat. Hasil hutan tersebut menjadi sumber pemenuhan kebutuhan hidup dan rumah tangga. Secara sosial hutan merupakan sarana pengikat hubungan sosial antar warga dalam satu (dan) antar suku. Hutan merupakan instrumen untuk mengukur status sosial seseorang atau komunial dalam satu marga, klan atau suku.

Sementara nilai budaya – religius, tanah dan hutan lahir karena fungsinya sebagai tempat upacara keagamaan dan upacara adat, tekait pemujaan terhadap leluhur yang dibuktikan dengan adanya tempat keramat.

Masyarakat adat memandang bahwa hutan dan tanah merupakan komponen yang tak terpisahkan. Pandangan masyarakat adat adat akan tanah merupakan proses yang berkembang dari diri mereka sebagai pemilik adat. Tanah Dianggap sebagai sesuatu yang sangat bermanfaat bagi kehidupan komunitas adat mereka.

Karenanya komunitas adat (Suku/ Marga) selalu berusaha untuk memiliki tanah seluas – luasnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup komunitas dan diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Di satu pihak masyarakat papua umumnya hidup di dalam dan sekitar hutan. Secara tradisionil mereka menerapkan praktek –praktek pengelolaan hutan selalui kearifan lokal yang mengandung aspek konservasi. Singkat kata, Hutan bagi masyarakat papua telah berkembang dan menyatu dengan sistem sosial budaya yang dianut. Mereka menerapkan kearifan tradisional yang dipercaya mempertahankan hutan sebagai sumber penghidupan.

Perekat Kosmos Nyaris Punah
Mengingat tanah dimaknai sebagai “Ibu kandung” maka tanah – akan halnya hutan - tak dapat diperjualbelikan, jika mereka menjualnya sama saja menjual ibu kandungnya. Nilai – Nilai ini tak hadir pada ruang hampa sebab pemaknaannya mempengaruhi pola pengelolaan sumber daya oleh masyarakat adat.

Igya ser Hanjob pada masyarakat Arfak selain mengatur pengelolaan sumber daya alam secara tradisional, juga mengatur masalah sosial di kalangan masyarakat Arfak. Sejak kecil anak – anak Arfak mulai diajarkan berlaku jujur, adil, bijaksana pada dua aspek tersebut. Semua ada batasnya dan setiap orang diharuskan menjaga batas tersebut untuk keberlangsungan hidupnya.

Manusia dan alam adalah kesatuan kosmologi. Ighya Ser Hanjob bagi masyarakat Arfak adalah instrumen perekat kosmos. Sekiranya nilai ini diabaikan, maka manusia Arfak yang terikat pada nilai itu akan terasing dari kosmos dan ruang di mana mereka hidup, awal kepunahan.

Sayangnya belum nampak sebuah kesadaran bahwa modernisme, kekuasaan dan praktek ekonomi berbasis keserakahan secara nyata dan perlahan mulai mengikis nilai – nilai itu. Ini terlihat ketika semangat untuk merevitalisasi nilai – nilai dan kearifan lokal tersebut sama sekali tak terjamah pada forum Musyawarah Adat Suku besar Arfak yang gegap - gempita itu. []

Tidak ada komentar: